
Saat Presiden Donald Trump menyampaikan tentang "Hari Kebebasan" dengan bea masuk awal sebesar 10% untuk setiap produk impor ke Amerika Serikat (AS) pada tanggal 2 April 2025, beberapa orang merasa hal tersebut hanyalah komponen dari taktik politik dramatisnya. Namun dibalik pertunjukan populerisasi itu, tersirat petunjuk jelas bahwa ekonomi AS tengah berhadapan dengan ancaman perubahan struktural yang tidak dapat diperbaiki sekadar melalui pidato kosong belaka. Dan bagi Indonesia, negeri yang telah lama menempatkan dirinya sebagai partner perdagangan utama AS, kini harus memahami: bersandar kepada suatu negara yang sedang dalam kondisi genting bukanlah langkah bijak.
Defisit perdagangan Amerika Serikat (AS) dengan Indonesia di tahun 2024 mencapai angka USD 17,88 miliar, naik sebesar 5,4% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut membuat Indonesia menjadi salah satu dari segelintir negara di ASEAN yang berhasil menghasilkan surplus konsisten terhadap AS. Namun, mari kita hentikan sebentar dan pertanyakan: Bisakah hal ini dianggap sebagai untung yang akan berlangsung lama, atau malah bisa jadi perangkap bagi kita saat AS merubah strategi kebijakannya nanti?
Berdasarkan data dari Biro Sensus Amerika Serikat, selama tahun 2024, negeri tersebut mencatat defisit perdagangan keseluruhan melebihi angka USD 1,06 triliun. Beberapa negara termasuk China (dengan kekurangan sebesar USD 295 miliar), Meksiko (sebanyak USD 172 miliar), serta Vietnam (senilai USD 124 miliar) terlihat cukup 'menjadi masalah' dalam pandangan pemerintah Washington jika dibandingkan dengan posisi Indonesia. Meski demikian, hal ini tidak menjadikan kita sepenuhnya bebas risiko. Donald Trump dikenal sebagai orang yang cenderung menggunakan simbolisme daripada mempertimbangkan statistik secara langsung. Jadi, saat simbol tentang 'ekonomi bebas' bertabrakan dengan fakta adanya defisit, setiap negara yang memiliki surplus dagang dengan AS dapat menjadi sasarannya.
Tarif perdagangan baru yang telah disahkan tak sekadar berdampak pada eksporiran raksasa seperti China dan Jerman, tetapi juga bakal menimpa negeri-negeri lain semisala Indonesia yang sangat bergantung kepada industri intensif tenaga kerja—seperti tekstil, alas kaki, serta perabotan. Barang-barang tersebut niscaya akan naik harganya di pasaran Amerika Serikat. Ketika pesanan merosot drastis, maka rangkaian akibatnya bisa terjadi: pemutusan hubungan kerja skala luas, penghasilan keluarga turun, sampai dengan lesunya belanja dalam negeri. Adakah persiapan bagi hal ini?
Sayangnya, tindakan pemerintah hingga kini cenderung bersifat retoris dibandingkan dengan yang praktis. Diskusi tentang diversifikasi ekspor terus dilakukan seperti halnya sebuah visi untuk lima tahun mendatang. Namun fakta menunjukkan bahwa 11,5% dari total ekspor Indonesia di tahun 2024 tetap ditujukan kepada Amerika Serikat, yaitu senilai USD 28,08 miliar.
Lebih buruk lagi, sebagian besar ekspor tersebut terdiri dari barang-barang dengan nilai tambah yang rendah, seperti komoditas mentah dan produk manufaktur sederhana. Ini berarti kekuatan tawarmu di pasaran sangat lemah. Jadi, jika tarif dinaikkan hingga 10-25%, kamu akan kesulitan membawa argumentasi ekonomi yang kuat untuk menjaga pangsa pasarmu.
Ini belum membahas dampak tak langsung dari kebijakan luar negeri AS yang mendukung Israel. Sejak Oktober 2023, Amerika Serikat sudah menyuntikan sebanyak $17,9 miliar sebagai bantuan militer kepada Israel. Hal tersebut bukan saja menimbulkan tensi dalam urusan diplomatik tetapi juga memberi beban pada anggaran pemerintah AS serta memburukkan kesenjangan sosial di tanah air mereka. Bagaimana hal ini berhubungan dengan kita? Sangat berkaitan. Saat dunia internasional mulai meragukan integritas etis AS, gambaran umum tentang negara tersebut pun goyah. Negara-negara lain yang terlalu erat keterkaitannya baik melalui perdagangan atau diplomasi bisa turut terseret oleh masalah reputasi dan ekonominya.
Belum berakhir sampai di sini. Kebakaran yang terjadi di Los Angeles di awal tahun 2025 mengakibatkan 24 korban tewas serta merugi hingga USD 250-275 miliar. Selain memperlihatkan ketidakmampuan Amerika Serikat dalam penanganan bencana iklim, musibah tersebut juga meningkatkan beban fiskal bagi pemerintahan Donald Trump. Oleh karena itu tidak heran apabila tariff dipergunakan tak sekadar sebagai instrumen perdagangan tetapi juga menjadi cara cepat untuk mendapatkan pendapatan bagi negara. Namun demikian, dampak dari hal ini pun dirasakan oleh Indonesia.
Maka, langkah apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia? Pertama, pemerintah wajib mengakhiri pandangan bahwa Amerika Serikat adalah pasar tunggal. Proses diversifikasi tidak boleh hanya menjadi semboyan, tetapi merupakan suatu kewajaran. Kedua, mendorong proses hilirisasi dalam bidang industri serta beralih menuju produksi dengan nilai tambah lebih tinggi. Ketiga, jalankan strategi diplomatik ekonomi secara proaktif—tidak cukup hanya tampil sebagai pendukung pada arena internasional, namun juga harus siap untuk menyuarakan tantangan terhadap narasi global yang bias. Keempat, bangkitkan dan tangguhkannya pangsa pasarnya sendiri bersama memperkokoh stabilitas cadangan sumber daya pangan dan energinya.
Yang utamanya, kita mesti siap menyongsong alam global yang lebih ganas dan sulit ditebak. Saat kuat lama seperti Amerika Serikat mulai melemah dari segi ekonomi dan etika, Indonesia wajib tampil untuk merancangkan ulang jalannya strategisnya. Dunia enggak sabar. Jikalau kita telat bertindak pada tempat yang salah, kemungkinan bakal tertinggal dalam arus perkembangan sejarah.