{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Home", "item": "https://anihrasul.blogspot.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "News", "item": "https://anihrasul.blogspot.com/search/label/news?m=0" }, { "@type": "ListItem", "position": 3, "name": "Subcategory", "item": "https://anihrasul.blogspot.com/search/label/news?m=1" } ] }

DIWIDA - Temuan mengagetkan ditemukan di lokasi arkeologi Longtan, berada di bagian baratdaya Tiongkok, membongkar asumsi baru tentang perkembangan evolusi manusia. Arkeolog mendapatkan peralatan batu dengan menerapkan teknik Quina — suatu cara membuat alat batu unik Eropa — yang dapat ditanggal sekitar 50.000 sampai 60.000 tahun silam.

Temuan ini menguji pandangan tradisional yang menyatakan bahwa area di Asia Timur selama Zaman Paleolitikum Tengah merupakan daerah dengan sedikit variasi dalam perkembangan kebudayaan maupun peningkatan teknologi.

Apa Itu Teknologi Quina?

Teknologi Quina merujuk pada suatu metode pembuatan peralatan batu yang telah diketahui melalui sejumlah penemuan arkeologis di Benua Eropa, khususnya dalam konteks komunitas Neanderthal. Karakteristik utamanya ialah pisau pengeruk (scraper) yang cukup tebal, kurang proporsional, bersudut tajam, dan sepertinya selalu direnovasi ulang. Peralatan semacam itu umumnya dipergunakan untuk memproses material-material seperti tulang, rambut randu, ataupun kayu.

Hingga saat ini, teknologi Quina belum diketahui ada di luar benua Eropa. Karena alasan tersebut, kemunculan sistem Quina dalam bentuk lengkap di lokasi Longtan merupakan temuan yang amat menakjubkan dan tanpa parallel di wilayah Asia Tenggara.

Tantangan Terhadap Pandangan Lama

Sejak lama, para ilmuwan memandang Zaman Batu Lumer tengah di Asia Timur -- jeda waktu sekitar 300.000 sampai 40.000 tahun yang lampau -- sebagai era dengan kemajuan budaya dan teknologi yang terbilang perlahan. Di sisi lain, Afrika dan Eropa melihat periode tersebut sebagai fase penting bagi evolusi manusia modern serta bermacam-macam populasi prasejarah termasuk Neanderthal dan Denisovan.

Namun, temuan studi terbaru dari University of Washington, yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences tanggal 31 Maret, saat ini mengejutkan pandangan lama itu.

Penemuannya sungguh mengejutkan pandangan kami terhadap daerah itu pada waktu itu," ujar Ben Marwick, seorang arkeolog dan guru besar dari Universitas Washington yang juga merupakan salah satu kontributor dalam riset ini. "Hal ini mendorong pertanyaan baru: Apa saja hal lain yang masih tertinggal untuk ditemukan? Bagaimana penemuan ini dapat merombak pemahaman kita tentang keberadaan manusia serta perkembangannya di kawasan ini?

Migrasi atau Mandiri?

Salah satu pertanyaan penting yang timbul dari hasil penelitian tersebut adalah: mengapa teknologi khas Eropa dapat berkembang di China?

Para ilmuwan saat ini mencoba memastikan apakah hal ini merupakan akibat perpindahan penduduk dari Eropa menuju Asia yang secara bertahap membawa teknologi tersebut, ataukah ini adalah bukti kreasi independen—yang mana grup manusia di Cina mungkin telah menyempurnakan teknologi sejenis tanpa adanya interaksi langsung dengan Eropa.

"Kami berharap mengetahui apabila teknologi ini berkembang dari metode lokal yang telah ada sebelumnya, ataukah tiba-tiba hadir tanpa adanya prekursor. Bila tak ditemukan bukti peralihan, bisa dipastikan hal tersebut memiliki asal-usul eksternal," terangkan Marwick.

Inovasi ini pun menggambarkan perkembangan dalam metodologi riset arkeologi di Cina. Sebagaimana dikatakan oleh Marwich, salah satu faktor yang membuat teknologi Quina akhirnya ditemukan saat ini ialah karena para ahli arkeologi di Cina kian banyak mengekspos dirinya kepada publikasi serta teknik studi dari negara lain. Di samping itu, laju dan frekuensi penyelidikan arkeologi di Negeri Tirai Bambu tersebut turut melonjak naik.

Dia menyebutkan bahwa anggapan lama yang mengasumsikan sedikit sekali perubahan budaya di Asia Timur dalam ribuan tahun akhirnya mulai diragukan. "Anggapan tersebut sudah cukup mapan, sehingga para peneliti cenderung tidak mencari bukti yang dapat membantahnya," jelas Marwick. "Namun saat ini, semakin banyak ilmiah yang berani untuk merombak pemikiran tersebut."

Marwick juga mengakui bahwa banyak aspek dari arkeologi bergantung pada nasib baik. Akan tetapi, tahap krusial selanjutnya ialah mencari jejak-jejak orang-orang yang tinggal pada periode bersamaan dengan peralatan Quina di Longtan.

“Hal itu dapat membantu menjawab pertanyaan besar: Apakah perkakas tersebut diciptakan oleh manusia modern layaknya kita, ataukah oleh spesies Homo Sapiens prasejarah lain?" katanya. "Sebelumnya, kami tidak pernah menggali fosil Neanderthal di kawasan Asia Tenggara. Tetapi jangan tertutup kemungkinan untuk menemui jejak Denisovan, atau bahkan spesies Homo Sapiens asli yang masih menjadi teka-teki bagi para peneliti."

Dengan temuan ini, para ilmuwan saat ini menghadapi potensi bahwa sejarah umat manusia di Asia Tenggara ternyata jauh lebih beragam dan rumit dari apa yang telah dipikirkan sebelumnya. Apakah melalui migrasi, inovasi lokal, atau hubungan antar populasi manusia prasejarah, tempat Longtan membuka cara baru bagi pemahaman tentang awal mula serta proses perkembangan diri kita.

 
Top