{ "@context": "https://schema.org", "@type": "BreadcrumbList", "itemListElement": [ { "@type": "ListItem", "position": 1, "name": "Home", "item": "https://anihrasul.blogspot.com/" }, { "@type": "ListItem", "position": 2, "name": "News", "item": "https://anihrasul.blogspot.com/search/label/news?m=0" }, { "@type": "ListItem", "position": 3, "name": "Subcategory", "item": "https://anihrasul.blogspot.com/search/label/news?m=1" } ] }

, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron menyatakan bahwa Prancis, Inggris, serta negara-negara lain yang menjamin keamanan Ukraina pasca gencatan senjata tak berniat melakukan penempatan skala besar atas pasukannya. Meski demikian, mereka berhak mendeplokasikan sejumlah kontingen mencapai beberapa ribu personel ke area strategis dalam wilayah Ukraina tanpa perlu persetujuan Rusia.

Pernyataan itu dikirim oleh Macron ke surat kabar regional di Prancis, Le Parisien dan La Dépêche de Midi.

"Bebearapa negara Eropa, termasuk beberapa yang bukan bagian dari Eropa juga sudah menunjukkan kesiapan mereka untuk ikut serta dalam penempatan pasukan ke Ukraina guna memastikan perdamaian di masa depan bersama Rusia," katanya.

Dia menyebutkan hal itu bisa mencakup beberapa ribu personel militer dari masing-masing negara, yang akan diposisikan di 'lokasi strategis' di Ukraina, guna menjalankan misi latihan serta memperlihatkan komitmennya dalam jangka waktu lama.

Dalam wawancara pada hari Sabtu, Macron mengatakan bahwa pasukan yang diajukan oleh negara-negara anggota NATO akan bertindak sebagai 'pengaman' bagi Ukraina. "Bebagai negara di Eropa serta luar Eropa sudah menunjukkan kesiapannya ikut ambil bagian saat ini terkonfirmasi."

Macron menggarisbawahi bahwa Ukraina tak bisa memberikan pengurangan wilayahnya tanpa adanya jaminan keamanan apapun.

Moskow menentang

Moskow secara jelas menolak ide seperti itu, namun Macron menyatakan bahwa persetujuan dari Rusia tidak dibutuhkan.

Dia menyebut Ukraina sebagai negara bebas. "Apabila Ukraina memohon bantuan pasukan sekutu untuk tetap ada dalam wilayahnya, Rusia tidak memiliki hak untuk menerima ataupun menolakkannya."

Macron akan berjumpa dengan Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, pada hari Senin ini, lalu melanjutkan perjalanannya ke Berlin pada Hari Selasa guna bertemu dengan Kanselir, Olaf Scholz. Topik utama pembicaraan mereka adalah mengenai konflik di Ukraina sebelum hadir dalam sidang tertinggi Uni Eropa.

Pada hari Sabtu, Perdana Menteri Britania Raya, Keir Starmer, mengadakan sebuah pertemuan daring yang melibatkan sekitar 30 tokoh penting dari berbagai negara. Turut hadir dalam acara ini adalah Emmanuel Macron, Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, serta kepala pemerintahan lainnya seperti dari Australia, Kanada, dan Selandia Baru.

Selanjutnya, Starmer mengajak Presiden Rusia, Vladimir Putin, agar menyetujui gencatan senjata apabila dia sungguh-sungguh berkomitmen terhadap kedamaian. Dia menyebut bahwa para sekutu akan tetap mengeraskan tekad mereka terhadap Kremlin dan merancang lebih lanjut soal strategi pasukan pemelihara perdamaian hingga mencapai tahapan operational.

Macron menyampaikan setelah bertemu pada hari Sabtu bahwa baik Eropa maupun Amerika Serikat perlu mendesak Rusia agar mau mempertimbangkan proposal cease-fire tersebut.

"Rusia perlu merespons secara tegas dan tekanannya juga harus jelas, bekerja sama dengan AS, untuk mencapai gencatan senjata ini," ujar Macron.

 
Top