DIWIDA , Yogyakarta - Perayaan Idul Fitri 2025 di Yogyakarta pada Senin 31 Maret 2025 berlangsung khidmat dan semarak. Pada perayaan Idul Fitri 1446 Hijriah ini, ada 1.414 titik lokasi salat Idul Fitri yang dipersiapkan Muhammadiyah di lima kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah ini meningkat pesat dibanding Idul Fitri tahun lalu yang menyediakan 718 titik salat ied.
Adapun rincian sebaran lokasi salat ied di DIY yakni di Kabupaten Sleman 314 lokasi, Kabupaten Kulonprogo 209 lokasi, Kabupaten Bantul 288 lokasi, Kabupaten Gunungkidul 377 lokasi dan Kota Yogyakarta 226 lokasi.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir turut mengikuti salat Ied di Lapangan Trimulyo Jetis Bantul. Dalam kutbahnya, Haedar mengatakan jika kehidupan berbangsa dan bernegara akan terasa damai, adil, makmur, bermartabat, berdaulat, dan berkemajuan secara berkeadaban jika para pemimpin dalam menjalankan tugas dilandasi ketakwaan.
"Kehidupan yang dilandasi takwa akan melahirkan teladan terbaik atau uswah hasanah mengikuti jejak Nabi, sekaligus menebar rahmat bagi alam semesta. Para pemimpinnya berakhlak mulia, adil, cerdas, dan mencintai rakyat yang dipimpinnya dengan menunaikan amanat sebaik-baiknya," imbuh Haedar.
Haedar mengatakan, situasi sebaliknya akan terjadi ketika para pemimpin negeri terlibat tindakan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, menguras sumber daya alam, hidup mewah dan berlebihan, serta merusak bumi.
Tradisi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta di Masjid Gede Kauman, Senin 31 Maret 2025. Dok. Pemda Yogya.
Semarak Grebeg Syawal
Adapun perayaan Idul Fitri hari pertama di Yogyakarta juga disemarakan tradisi Grebeg Syawal Yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta. Tradisi ini mencabut beberapa gunungannya dan mendistribusikannya ke beragam lokasi, diiringi para prajurit keraton atau bregada. Tempat-tempat tersebut antara lain Masjid Gede Kauman, Kantor Pemerintahan Daerah DIY, serta Pura Pakualaman.
Garebeg atau Grebeg adalah suatu kebiasaan yang sering diadakan oleh istana untuk merayakan peristiwa penting dalam agama Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, serta kelahiran Nabi Muhammad SAW,” jelas Koordinator Penyelenggaraan Garebeg Sawal Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Kusumanegara.
Gunungan yang diproses dan didistribusikan mewakili kekayaan Keraton atau hadiah dari sang Raja untuk warganya. Ada lima tipe gunungan yang diberikan dalam upacara Garebeg Sawal yaitu Gunungan Kakung, Gunungan Estri/Wadon, Gunungan Gepak, Gunungan Dharat, serta Gunungan Pawuhan.
Gunungan yang dibawa keliling di Masjid Gede Kauman segera disambut atau menjadi incaran bagi para pengunjuk ria. Di sisi lain, sebuah gunungan tertentu ditarik keliling mulai dari Keraton Yogyakarta Ke kantor Pemerintahan Daerah DIY dan diposisikan di Pendopo Wiyata Praja, komplek kantor Gubernur Kepatihan, Yogyakarta.
Dijaga pasukan Bugis, ubarampe pareden gunungan bertema rengginang dengan hiasan bintang-bintang multicolor ini dibawa oleh Utusan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Purohadiparwoto dan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sudarto Danarto.
Pada sekitar jam 11:30 Waktu Indonesia Bagian Tengah, gunungan sampai di Kompleks Kepatihan dan disambut oleh Sekretaris Daerah DIY, Beny Suharsono, yang didampingi oleh beberapa kepala dinas dari lingkungan Pemerintahan Daerah DIY.
"Penyerahan gunungan yang dibawa menggunakan kain cindai berwarna merah—yang umumnya dipakai pada acara-acara penting dan suci—ini dilakukan untuk memenuhi instruksi dari Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X," jelas Utusan Keraton Yogyakarta Hadiningrat, KMT Purohadiparwoto.
Setelah diresmikan diterima oleh Pemerintah Daerah DIY, tapak-gunung itu kemudian didistribusikan kepada pegawai negeri sipil Pemda DIY yang turut hadir. Makanan pembatas hariannya, yaitu rengginang dan kerupuk bertabur bintang dengan limawarna ini membawa arti khusus dalam tiap coraknya.
Hitam mewakili otoritas dan ketekunan, putih menandakan suci, merah mencerminkan berani, hijau menyimbolkan subur/kekayaan, sementara kuning bermakna mulia. Penentuan warna-warna ini sangat berkaitan dengan bijaksana tradisional Jawa tentang arah angin (papat limo pancer), periode tujuh hari dalam sembilan minggu, ataupun karakteristik hasrat manusia.